Rabu, 15 Juni 2016

Ayam-Ayam Perantauan

Ayam-ayam berkokok tanda pagi datang, tapi dimanakah aku bisa dengar lagi suara ayam? di tempat pemotongan hewan-kah? atau di tempat peraduan? ataukah aku harus mencari kerumah sebelah, rumah sang kakek yang telah lama mati. Nasib ayam tinggal di perantauan. Meninggalkan sejuknya suasana desa dan nikmatnya cacing segar yang terkubur di dalam tanah. Disini hanya ada sampah. Dikeruk-pun hanya akan mendapatkan belatung. Nasib ayam tinggal di perantauan. Merindu matahari pagi bersolek manis menyapa bumi. Ingatkah mereka bagaimana suasana mentari? mereka sekarang terbiasa dibangunkan dengan deru motor bersliweran. Tidak lagi menjadi pembangun sang majikan.

Nasib ayam tinggal di perantauan. Tubuh besar berlipat lemak, dihidupkan hanya untuk pemuas lapar. Suntikan-suntikan dihujam hingga mereka tampak menggiurkan. Dijual dan bernilai mahal. Nasib ayam di perantauan. Jauh dari rumah tinggal, lupa akan rasa segarnya rumput berselimut embun di pagi hari. Hingga mereka lupa cara untuk kembali. Ayam-ayam diperantauan, hidupnya adalah pengorbanan besar. Manusia melihatnya bagai makanan mewah, liur menetes tanda kejayaan dari kematian sang ayam perantauan. Mati lemas di perjalanan dalam mobil box terbuka, aroma kematian berserakan. Kematian yang hanya bisa mereka nikmati tanpa banyak kompromi.

Ayam-ayam diperantauan, beberapa lagi terlahir menjadi petarung. Petarung pemuas ego makhluk yang katanya paling sempurna di mata pencipta. Bertaji. Memilih untuk lari tapi lari kemana?. Sayap tak bisa digunakan terbang. Hanya sebagai simbol jika mereka adalah kelompok unggas. Sorak sorai penonton peraduan. Terasa gagah bagi mereka, bagai petinju di kelas berat. Pemenang akan menjadi petarung, yang kalah hanya akan jadi makanan penutup. Nasib ayam perantauan. Hanya ada pilihan hidup atau mati.

Ayam-ayam diperantauan. Dipaksa memproduksi bagai pabrik. Telur-telur bakal anak dijual. Manusia menyebutnya makanan berprotein. Protein dari campuran ketuban, darah, dan badan yang belum jadi. Mati lemas karena memproduksi. Lagi-lagi MATI. Dibuang, dibakar dan terakhir berakhir di meja makan jika sudah tidak bisa lagi menghasilkan telur. Pernahkah kita melihat dari sisi mereka?

Bodoh. Mereka hanya hewan yang diciptakan untuk menjadi makanan manusia. Siapa yang bodoh? Kamu? Kamu yang tanpa rasa bersalah menyiksa mereka. Disini siapa yang bodoh? Aku? Aku yang sedang mencoba merasakan perasaan mereka?. Klise. Perasaan? Mereka hanya hewan. Hewan yang juga ciptaan sang maha pencipta.

Ayam-ayam diperantauan, kembalilah ke desa dan bangunkan lagi sang mentari.






-Sebuah cerita fiksi nyata-
-Ayam-Ayam Perantauan-


Penulis,
A.M.P.S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar